Sejenak kita break dari polemik Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, 3-20 Juli 2021, yg katanya untuk menekan laju penularan virus corona
.
Mari barang sesaat kita coba ungkap sedikit euro 2020 (dilakukan 2021), yg jg memang sepertinya telah “bebas” dari pandemi. Jangankan berkerumun, pake masker saja sudah tidak ada lagi. Hal yg “fardhu ain” bagi masyarakat di negeri ini
.
Euro 2020 mempertemukan Italia vs Inggris di partai puncak. Italia memastikan diri lolos final usai menumbangkan Spanyol lewat adu penalti. Setelah berbagi angka di waktu normal dengan skor 1-1, Gli Azzurri menang 4-2 lewat babak tos-tosan. Penalti “Hob” Jorginho menjadi penentu kemenangan tim besutan Roberto Mancini tersebut
.
Adapun Inggris memastikan diri keluar dari lubang jarum usai menumbangkan perlawanan Denmark di laga semifinal yang digelar di Stadion Wembley, Kamis (8/7/2021) dini hari WIB. The Three Lions menang 2-1
Bukan laga yang mudah bagi Harry Kane cs untuk melewati hadangan Denmark. Asuhan pelatih Gareth Southgate bahkan harus tertinggal lebih dulu
.
Sejumlah pengamat sepakbola mengatakan, big match ajang sepakbola 4 tahunan di benua biru ini adalah final ideal. “Italia melawan Inggris di final akan menjadi skenario yang sempurna bagi saya,” kata the special one, Jose Mourinho
.
Final kali ini juga merupakan representasi 2 mazhab dalam gaya permainan sepakbola; catenaccio versus kick and rush
.
Meski kedua tim telah ditangani pelatih yg melakukan banyak pembaruan taktik dan strategi dalam skuad asuhnya, tapi basis filosofis gaya permainan kedua tim tetap melekat
.
Catenacccio pada Italia, permainan sepak bola yang menitikberatkan kekuatan pada pertahanan. Sebuah strategi permainan dengan pertahanan yang terorganisir dan efektif agar lawan kesulitan menyerang dan mencetak gol
.
Dan Roberto Mancini mengembalikan filosofi catenacccio tersebut dalam ruh permainan Italia, dengan sedikit modifikasi high pressing dan banyaknya talenta muda dalam skuad. Sejak ditangani berapa gol yg mampu bersarang di gawang Donnarumma!?
.
Duo pertahanan grendel Chellini dan Bonucci adalah bukti zahir akan bahasan di atas. Tapi di bawah racikan Mancini, Italia justru menampilkan permainan yg atraktif dan kondisional, hal yg kontradiktif dalam skema catenacccio. Selama dibesut, 33 kali pertandingan tanpa pernah merasakan kekalahan
.
Lain halnya dengan Inggris. Tim negeri Ratu Elizabeth ini identik dengan kick and rush. Yaitu pola permainan dimana bola secepatnya ditendang ke kotak pinalti untuk menciptakan kemelut di mulut gawang
.
Mazhab kick and rush menyebutkan bahwa semakin sering bola ditendang ke kotak pinalti, maka semakin sering pula menimbulkan kemelut. Semakin sering terjadi kemelut di mulut gawang lawan, maka probabilitas terjadinya gol semakin tinggi. Gaya terburu-buru ini bukan tanpa hasil. Tahun 1966 Inggris sudah membuktikan keampuhan gaya ini dengan meraih piala dunia
.
Tapi hal itu juga menjadi dejavu bagi Inggris. 55 tahun telah berlalu, belum sekalipun ia kembali meraih gelar. “Dengan masih menganut gaya bermain Kick and Rush Timnas Inggris mengalami kemunduran gaya permainan. Mereka tak mampu berbuat banyak dalam bermain sepakbola,” sindir Franz Beckenbauer, Legenda Sepakbola Jerman Barat
.
Sama seperti Mancini yg memodif catenaccio, Inggris jg tidak terpaku dengan filosofinya. Justru Shuthgane memasukkan unsur fleksibilitas dalam kick and rush. Bisa kita liat hingga semifinal lalu, hanya 1 gol yg bersarang di gawang Jordan Pickport
.
Singkat cerita, kita nantikan saja besok!
.
Italia dengan mental baja bak gladiator romawi akan bertarung di kandang singa, the three lions, stadion Wembley, London Stadium
.
Keduanya membawa spirit kemenangan. Italia, terakhir kali juara 1968 silam. Sedangkan Inggris belum pernah sekalipun mentahbiskan diri menjadi the best in Europe, padahal olahraga ini berasal dari Inggris
.
Jadi, final ini, apakah “football is coming home or football is coming to the rome”
.
Azhari, yg dulu masih sempat menyaksikan Batistuta, Maldini, Beckham, Cannavaro, di lapangan hijau.